Rabu, 01 Juli 2015

makalah metode irfani



METODE IRFANI





Disusun Oleh :
Ø ADE KURNIAWAN
Ø MUH. FADLIH DAHLAN
Ø NASRIANTO
Ø ABD. FAHRUL S. APIT
Ø RINADILLAH
Ø SITI ALIMAH M.A KAEDAT
Ø KOMARIAH
Ø AMIRIAH
Ø AYU SIODJA
Ø MARWAH MAHDI
Kelompok I

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LUWUK
FAKULTAS AGAMS ISLAM
Tahun Akademik 2012/2013



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL   
KATA PENGANTAR   ................................................................................................. ii
DAFTAR ISI     .............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang  .................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
            2.1       Metode Irfani………………………………………………………….. 3
   2.2       Upaya Untuk Memperoleh Ma’rifat.................................................... 4

BAB III PENUTUP
           3.1      Kesimpulan  ........................................................................................... 8
           3. 2     Saran  ...................................................................................................... 9





KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
            Puji syukur kehadirat Tuhan YME karena berkat rahmat dan karunianya makalah ini dapat terselesaikan.makalah ini dibuat untuk mengerjakan tugas kelompok mata kuliah ilmu tsawuf yang diberikan oleh dosen penanggung jawab mata kuliah ilmu tasawuf oleh Bapak H.Drs.Zainal Abidin Alihamu M.A   Materi ini diambil dari hasil penelusuran di internet dan buku-buku yang bersangkutan dengan mata kuliah ini.
            Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini jika berkenan memberikan saran, penulis akan menerimanya dengan terbuka. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Luwuk,    April  2013

Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
1.1       latar belakang
            Potensi untuk memperoleh ma’rifat telah ada pada manusia. Salah satu persyaratannya adalah kesucian jiwa dan hati. Apakah jiwa dan hati telah suci ataukah masi dilumuri dosa, jika totalitas jiwanya telah suci dan hatinya telah dipenuhi dengan dzikir kepada tuhan, hidupnya akan dipenuhi oleh kearifan dan bimbingannya. Dalam dunia tasawuf, qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah qalb yang telah suci dari berbagai noda atau akhlak yang burk yang sering dilakukan manusia. Karena qalb  merupakan bagian jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Qalb yang telah suci akan mampu menembus alam malaikut (misalnya, alam malaikat) sebagaimana diungkapkan Al-Ghazali dalam kimia Al-Sa’adah-nya bahwa qalb merupakan sesuatu yang sejenis dengan malaikat. Ketika berada di alam malakut inilah, qalb mampu memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan. Hal ini berarti bahwa Tuhan hanya dapat didekati oleh jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi dialog batiniah dengan perangkat qalb yang suci inilah yang disebut dengan ilmu ma’rifat, dan dengan secara spesifik dapat diperoleh ilmu laduni, yakni ilmu yang datang melalui ilham yang dibisikkan kedalam hati manusia. Dengan demikian, qalb berpotensi untuk berdialog dengan tuhan dan menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1       METODE IRFANI
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk (riyâdhâ) seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000: 69), kerangka irfani yaitu lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptaan-Nya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis teoritis (al- iman al-aqli an-Nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri ad-dzauqi). Lingkup irfani ini tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud yaitu maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal).

2.2       UPAYA UNTUK MEMPEROLEH MA’RIFAT
            Di samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu sebagai berikut :
1. Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan perihal yang mengotori jiwanya. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riyadhah bukanlah perkara mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk. Dengan kata lain, riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa.
2. Tafakur (Refleksi)
Secara harfiah Tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam, sistematis dan terperinci . Menurut Imam Al-Ghazali (dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan caranya adalah dengan bertafakur. Bertafakur tentang ciptaan Allah s.w.t. merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di langit dan di bumi. Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakkan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam surat Ali Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Mentafakuri penciptaan langit dan bumi serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian misteri ilahi di dalam kitab semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan spiritual menyerap cahaya pancaran ma’rifat Allah.
3. Tazkiyat An-Nafs
Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata, yaitu ’tazkiyat’ dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata ’zakka’ yang berarti penyucian. Kata an-nafs’ berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian jiwa . Tazkiyat An-Nafs (membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban Rasulullah saw. Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifaq, sehingga jiwa menjadi bersih, penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah. Sedang menurut Al-Ghazali Tazkiyat An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti takhliyat an-nafs (pengosongan jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan jiwa dengan sifat terpuji).
4. Dzikrullah
Istilah ’dzikr’ berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan, mengagungkan, menyebut atau mengingat. Berdzikir kepada Allah berarti dzikrullah, atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci. Dzikrullah adalah tuntunan masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin) Al-Quran mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut Yunasril Ali (2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur, yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat. Berikut penjelasannya:
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41). Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124 dan QS. Al-Hasyr [59]: 19).
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan
qalbu (ma’rifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.
3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)









BAB III
PENUTUP
3.1       kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerangka berpikir irfani merupakan salah satu jalan sufistik yang ditempuh para sufi dalam mencapai pengenalan kepada Allah swt secara total (ma’rifatullah) sebagai hamba-Nya. Di dalam pengembaraan para salik (penempuh tasawuf) tersebut, mereka mesti melalui tahapan-tahapan maqam (maqamat) seperti taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, tawakal, dan ridha.
Segala penempuhan di dalam maqamat dan ahwal untuk mencapai derajat hamba yang hakiki di sisi Allah swt. tersebut tidak akan diperoleh secara sempurna jika dilakukan tanpa pedoman dan bimbingan tertentu. Pedoman tersebut digunakan sebagai metode penempuhan para sufi yakni metode irfani. Metode irfani merupakan salah satu metode sufistik yang telah digali oleh para ‘arifin (ulama tasawuf) dari sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul saw.
Dengan begitu, jelaslah sudah bahwa kerangka berpikir irfani melalui falsafi maqamat dan ahwalnya menjadi dasar amalan para salik di dalam memahami esensi (hakikat) nilai-nilai penghambaan diri kepada sang Maha dahsyat. Selain itu, kerangka berpikir irfani ini, tidak semata dikhususkan bagi para salik atau sufi, melainkan pula kepada kaum muslimin yang menginginkan ketenangan secara lahir dan batin, dan tentunya disertai dengan pedoman dan bimbingan guru munsyid.
3.2       saran
            Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar