METODE IRFANI
Disusun Oleh :
Ø
ADE KURNIAWAN
Ø
MUH. FADLIH DAHLAN
Ø
NASRIANTO
Ø
ABD. FAHRUL S. APIT
|
Ø
RINADILLAH
Ø
SITI ALIMAH M.A KAEDAT
Ø
KOMARIAH
Ø
AMIRIAH
Ø
AYU SIODJA
Ø
MARWAH MAHDI
|
Kelompok
I
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH LUWUK
FAKULTAS AGAMS ISLAM
Tahun
Akademik 2012/2013
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL
KATA
PENGANTAR ................................................................................................. ii
DAFTAR
ISI .............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang .................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Metode Irfani………………………………………………………….. 3
2.2 Upaya Untuk
Memperoleh Ma’rifat.................................................... 4
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ........................................................................................... 8
3. 2 Saran
...................................................................................................... 9
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji
syukur kehadirat Tuhan YME karena berkat rahmat dan karunianya makalah ini dapat
terselesaikan.makalah ini dibuat untuk mengerjakan tugas kelompok mata kuliah
ilmu tsawuf yang diberikan oleh dosen penanggung jawab mata kuliah ilmu tasawuf
oleh Bapak H.Drs.Zainal Abidin Alihamu M.A Materi
ini diambil dari hasil penelusuran di internet dan buku-buku yang bersangkutan
dengan mata kuliah ini.
Mohon
maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini jika berkenan
memberikan saran, penulis akan menerimanya dengan terbuka. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. Penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Luwuk, April
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar
belakang
Potensi untuk memperoleh ma’rifat telah ada
pada manusia. Salah satu persyaratannya adalah kesucian jiwa dan hati. Apakah
jiwa dan hati telah suci ataukah masi dilumuri dosa, jika totalitas jiwanya
telah suci dan hatinya telah dipenuhi dengan dzikir kepada tuhan,
hidupnya akan dipenuhi oleh kearifan dan bimbingannya. Dalam dunia tasawuf, qalb
merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat ma’rifat.
Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah qalb yang telah
suci dari berbagai noda atau akhlak yang burk yang sering dilakukan manusia.
Karena qalb merupakan bagian
jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi kecemerlangan qalb dalam
menerima ilmu. Qalb yang telah suci akan mampu menembus alam malaikut
(misalnya, alam malaikat) sebagaimana diungkapkan Al-Ghazali dalam kimia
Al-Sa’adah-nya bahwa qalb merupakan sesuatu yang sejenis dengan
malaikat. Ketika berada di alam malakut inilah, qalb mampu
memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan. Hal ini berarti bahwa Tuhan hanya dapat
didekati oleh jiwa yang suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi
dialog batiniah dengan perangkat qalb yang suci inilah yang
disebut dengan ilmu ma’rifat, dan dengan secara spesifik dapat diperoleh
ilmu laduni, yakni ilmu yang datang melalui ilham yang dibisikkan
kedalam hati manusia. Dengan demikian, qalb berpotensi untuk berdialog
dengan tuhan dan menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 METODE
IRFANI
Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf
Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, bahwa perjalanan sair suluk (riyâdhâ)
seorang hamba kepada Allah Swt. akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang
lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afrimasi (tashdiq)
panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri
(presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat tinggi.
Menurut Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin (2000: 69), kerangka irfani yaitu
lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang
berlaku di kalangan sufi secara rasa (rohaniah). Manusia tidak akan tahu banyak
mengenai penciptaan-Nya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah
walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya
perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis teoritis (al- iman
al-aqli an-Nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu’ri ad-dzauqi).
Lingkup irfani ini tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas,
tetapi melalui proses yang panjang. Proses yang dimaksud yaitu maqam-maqam
(tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal).
2.2 UPAYA
UNTUK MEMPEROLEH MA’RIFAT
Di
samping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk
memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu sebagai
berikut :
1. Riyadhah
Riyadhah adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak
melakukan perihal yang mengotori jiwanya. Suatu pembiasaan biasanya dilakukan
terus-menerus secara rutin sehingga seseorang benar-benar terlatih, khususnya
dalam menahan diri agar jauh dari berbuat maksiat atau dosa. Riyadhah bukanlah
perkara mudah, sehingga Dalam pelaksanaannya diperlukan mujahadah, yaitu
kesungguhan dalam berusaha meninggalkan sifat-sifat buruk. Dengan kata lain,
riyadhah dapat diartikan sebagai salah satu metode sufistik dengan latihan
amal-amal positif (salih) secara istiqamah dan mujahadah guna melenyapkan
pengaruh negatif (maksiat) dari jiwa yang terkontaminasi dosa.
2. Tafakur (Refleksi)
Secara harfiah Tafakur berarti memikirkan sesuatu secara mendalam,
sistematis dan terperinci . Menurut Imam Al-Ghazali
(dalam Badri,1989), jika ilmu sudah sampai pada hati, keadaan hati akan
berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan juga akan berubah.
Perbuatan mengikuti keadaan, keadaan akan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti
pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dari kunci segala kebaikan dan
caranya adalah dengan bertafakur. Bertafakur tentang ciptaan Allah s.w.t.
merupakan ibadah mulia yang diserukan Islam. Oleh karena itu, tidaklah heran
jika dalam Al-Quran, dalam beberapa ayatnya, kita menemukan perintah untuk
bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah s.w.t. di langit dan di bumi.
Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggerakkan hati manusia dengan mengingat keagungan-Nya. Dalam
surat Ali Imran [3] ayat 190-191, Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkannya tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ya Tuhan
kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” Mentafakuri penciptaan langit dan bumi
serta segala peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan suatu hal yang tidak
dibatasi oleh faktor ruang dan waktu. Sehingga, pencarian misteri ilahi di
dalam kitab semesta itu menjadi perihal menarik yang melahirkan kegembiraan
spiritual menyerap cahaya pancaran ma’rifat Allah.
3. Tazkiyat An-Nafs
Secara harfiyah (etimologi) Tazkiyat An-Nafs terdiri atas dua kata,
yaitu ’tazkiyat’ dan ’an-nafs’. Kata ’tazkiat’, berasal dari bahasa Arab, yakni
isim mashdar dari kata ’zakka’ yang berarti penyucian. Kata ‘an-nafs’ berarti jiwa dalam arti psikis. Dengan begitu
dapat diketahui Tazkiyat An-Nafs bermakna penyucian jiwa . Tazkiyat An-Nafs
(membersihkan jiwa) merupakan salah satu tugas yang diemban Rasulullah saw.
Muhammad Ath-Thakhisi berpendapat, Tazkiyat An-Nafs adalah mengeluarkan jiwa
dari ikatan-ikatan hawa nafsu, riya, dan nifaq, sehingga jiwa menjadi bersih,
penuh cahaya, dan petunjuk menuju keridhaan Allah. Sedang menurut Al-Ghazali Tazkiyat
An-Nafs pada intinya diorientasikan pada arti takhliyat an-nafs (pengosongan
jiwa dari sifat tercela) dan tahliyat an-nafs (penghiasan jiwa dengan sifat
terpuji).
4. Dzikrullah
Istilah ’dzikr’ berasal dari bahasa Arab, yang berarti mengisyaratkan,
mengagungkan, menyebut atau mengingat. Berdzikir kepada Allah berarti dzikrullah,
atau mengingatkan diri kepada Allah sebagai Tuhan yang disembah dengan
sebaik-baiknya, Tuhan Maha Agung dan Maha suci. Dzikrullah adalah tuntunan
masalah ruhiyah atau yang berhubungan dengan masalah pengalaman ruhiyah (batin)
Al-Quran mengisyaratkan tentang dzikrullah, Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku
niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah
kamu mengingkari (nikmat)-Ku (QS. Al-Baqarah [2]: 152. Menurut Yunasril Ali
(2002: 145), ingat kepada Allah (dzikrullah) setidaknya melibatkan tiga unsur,
yakni yang ingat (subyek), yang diingat (obyek) dan aktivitas pengingat.
Berikut penjelasannya:
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41). Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124 dan QS. Al-Hasyr [59]: 19).
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan qalbu (ma’rifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.
3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)
1. Dzakir (orang yang ingat), yakni pelaku zikir. Segenap orang yang beriman dituntut oleh Allah untuk ingat sebanyak-banyaknya kepada-Nya (lihat QS. Al-Ahzab [33:41). Sebaliknya jika ia lupa, maka ia akan lupa pada dirinya sendiri. (lihat QS. Thaha [20]:124 dan QS. Al-Hasyr [59]: 19).
2. Madzkur (Tuhan yang diingat). Kerinduan dan ingatan pada level tertinggi yang biasa disebut mahabbah Allah swt. Ingat kepada Allah swt setiap saat didasarkan atas pandangan qalbu (ma’rifah atau musyahadah). Hal ini berdasarkan QS Al-Baqarah [2]: 115.
3. Dzikr (aktivitas zikir) itu sendiri. Meliputi berbagai bentuk. Ada yang berbentuk lisan dalam menyebut asma Allah (dzikir lisan atau dzir jahri atau dzikr jali) ada pula yang berbentuk aktivitas kalbu dalam mengingat Allah (dzikr qalbi atau dzikir sirri atau dzikir khafi)
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerangka berpikir
irfani merupakan salah satu jalan sufistik yang ditempuh para sufi dalam
mencapai pengenalan kepada Allah swt secara total (ma’rifatullah) sebagai
hamba-Nya. Di dalam pengembaraan para salik (penempuh tasawuf) tersebut, mereka
mesti melalui tahapan-tahapan maqam (maqamat) seperti taubat, zuhud, faqr,
sabar, syukur, tawakal, dan ridha.
Segala penempuhan di dalam maqamat dan ahwal untuk mencapai derajat hamba
yang hakiki di sisi Allah swt. tersebut tidak akan diperoleh secara sempurna
jika dilakukan tanpa pedoman dan bimbingan tertentu. Pedoman tersebut digunakan
sebagai metode penempuhan para sufi yakni metode irfani. Metode irfani
merupakan salah satu metode sufistik yang telah digali oleh para ‘arifin (ulama
tasawuf) dari sumber ajaran Islam, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasul saw.
Dengan begitu, jelaslah sudah bahwa kerangka berpikir irfani melalui
falsafi maqamat dan ahwalnya menjadi dasar amalan para salik di dalam memahami
esensi (hakikat) nilai-nilai penghambaan diri kepada sang Maha dahsyat. Selain
itu, kerangka berpikir irfani ini, tidak semata dikhususkan bagi para salik
atau sufi, melainkan pula kepada kaum muslimin yang menginginkan ketenangan
secara lahir dan batin, dan tentunya disertai dengan pedoman dan bimbingan guru
munsyid.
3.2 saran
Penulis
banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar